Katakanlah …

Aku tak diciptakan untuk kalah.

Kemenangan adalah hak hidupku.

Itu sebabnya sulit bagiku untuk menenangkan diri dalam kekalahan, tak mudah bagiku menyaksikan keberhasilan orang lain, dan itu pasti sebabnya aku membenci keadaan yang begini-begini saja.

Aku harus berani.

Aku harus berani meninggalkan kebiasaan lama yang hanya membuatku gelisah dan minder.

Aku harus berani memasukkan diriku kedalam pergaulan yang selama ini kujauhi, dan melibatkan diriku dalam pekerjaan yang baik hasilnya bagi diriku dan sesamaku.

Aku harus berani.

Aku akan tampil lucu sekali, jika aku memimpikan yang tinggi dan besar, tapi semangatku rendah dan keberanianku kecil.

Aku harus berani.

Kehidupan yang tidak berani, bukanlah kehidupan yang menarik.

Aku harus berani sukses, atau aku harus ikhlas meratap dalam kelemahan.

Ini hidupku, aku harus berani.

I am a winner!

Mario Teguh

Selasa, 06 Maret 2012

Keistimewaan Dan Kekebalan Diplomatik Menurut Hukum Internasional (tinjauan yuridis konvensi wina 1961)


Keistimewaan Dan Kekebalan Diplomatik Menurut Hukum Internasional (tinjauan yuridis konvensi wina 1961)
A. PENDAHULUAN
Perkembangan masyarakat internasional yang demikian pesat memberikan suatu dimensi baru dalam hubungan internasional. Hukum internasional telah memberikan suatu pedoman pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi internasional dalam pelaksanaan hubungan ini. Ketentuan-ketentuan dari konvensi ini kemudian menjadi dasar bagi negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lainnya di dunia.
Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional.
Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan perlu untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara tersebut hingga akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Viena Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik). Konvensi Wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu.
Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatiknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua negara. Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh sangat besar dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi ini sebagai landasan hukum pelaksanaannya.
Agar suatu konvensi dapat mengikat negara tersebut maka tiap negara haruslah menjadi pihak dalam konvensi. Adapun kesepakatan untuk mengikatkan diri pada konvensi merupakan tindak lanjut negara-negara setelah diselesaikan suatu perundingan untuk membentuk perjanjian internasional. Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara, kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi. Akibat dari pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara keseluruhan atau sebagaian.
Akibat dari adanya perbedaan-perbedaan pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian internasional oleh dua negara akan menimbulkan sengketa. Berdasarkan kajian historis diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan atau reaksi yang dilakukan suatu negara kepada negara lain jika suatu sengketa terjadi. Di antaranya adalah surat protes, denials/accusation (tuduhan/penyangkalan), pemanggilan dubes untuk konsultasi, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang.Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. Untuk sampai kepada tingkat ketegangan berupa pemutusan hubungan diplomatik, apalagi perang, perlu ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya sebelum pengambilan keputusan yang bersifat drastis tersebut.
Perang adalah kebijakan paling ekstrim yang dapat saja terjadi, namun tidak terjadi dengan begitu saja. Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi dapat saja berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap merupakan keputusan besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara ekonomis, politis bahkan pengorbanan darah/nyawa. Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena pertimbangan emosional.
Perkembangan dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini, terdapat dua faktor yang paling penting dalam pemeliharaan perdamaian, yaitu hukum internasional dan diplomasi. Hukum internasional memberikan tatanan bagi dunia yang bagaimanapun anarkis, bagi pemeliharaaan perdamaian. Diplomasi mempunyai peran yang sangat beragam dalam hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Diplomasi, dengan penerapan metode negosiasi, persuasi, tukar pikiran, dan sebagainya dalam menjalankan hubungan antara masyarakat yang terorganisasi mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan yang sering tersembunyi di belakangya. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini. Seperti dinyatakan oleh Morgenthau, suatu pra-kondisi bagi penciptaan dunia yang damai adalah berkembangnya konsesus internasional baru memungkinkan diplomasi mendukung perdamaian melalui penyesuaian (peace trough accomodation).
Berdasarkan kasus-kasus pelanggaran hubungan diplomatik yang terjadi dalam kurun waktu 1961 sampai sekarang adalah banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dan juga pelanggaran gedung perwakilan diplomatik. Oleh karena itu di posting berikutnya akan dijelaskan bagaimana mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan hukum internasional dan praktik-praktik yang telah diterapkan oleh beberapa negara di dunia.
PEMBAHASAN
B. Keistimewaan perwakilan diplomatik
Konvensi Wina 1961 menentukan dengan tegas keistimewaan diplomatik bagi negara pengirim dan kepala misi diplomatik akan dibebaskan dari segala macam bentuk pungutan dan pajak-pajak, baik bersifat nasional, pajak daerah maupun iuran-iuran lain terhadap gedung perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961, dan pengecualiannya adalah sebagaimana yang diatur Pasal 34 Konvensi Wina 1961. Adapun bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1961 sebagai berikut:
Pasal 33 Konvensi Wina 1961, Agen diplomatik agen harus dibebaskan dari semua bea dan pajak, baik bersifat pribadi, nasional, daerah atau kota, kecuali:
a. Pajak langsung dari sejenis yang biasanya dimasukkan ke dalam harga barang atau jasa;
b. bea dan pajak tak bergerak milik swasta yang berlokasi di wilayah negara penerima, kecuali ia berpendapat ia atas nama negara pengirim untuk keperluan misi;
c. perkebunan, berturut-turut atau warisan tugas dikenakan oleh negara penerima, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 39 ayat 4;
d. bea dan pajak pada para swasta memiliki sumber pendapatan dalam penerimaan pajak negara dan modal investasi pada usaha komersial yang dibuat di dalam negara penerima;
e. biaya untuk jasa tertentu;
f. pendaftaran, biaya pengadilan atau merekam, hipotek dan cap pajak, sehubungan dengan tenang properti, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 23.
Pasal 34 Konvensi Wina 1961
Seorang pejabat diplomatik akan dibebaskan dari semua pungutan dan pajak-pajak, baik pajak barang bergerak maupun barang tidak bergerak, pajak pusat, daerah, dan kotapraja, kecuali:
a)      Pajak-pajak tidak langsung dari suatu barang yang biasanya telah dimasukan dalam harga barang atau jasa;
b)      Pungutan dan pajak-pajak atas harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di wilayah negara penerima, kecuali yang dikuasainya atas nama negara pengirim atau untuk keperluan perwakilan;
c)      Pajak-pajak tanah milik, suksesi atau warisan yang dikenakan oleh negara penerima, tunduk pada ketentuan dari ayat 4 pasal 39;
d)     Pungutan dan pajak atas penghasilan pribadi yang bersumber di negara penerima dan pajak atas modal yang ditanamkan dalam usaha-usaha perniagaan di negara penerima;
e)      Biaya yang dipungut atas jasa-jasa khusus yang diterimanya;
f)       Biaya-biaya pendaftaran, pengadilan atau pencatatan, hipotik dan bea materai untuk harta milik tidak bergerak, tunduk pada ketentuan-ketentuan dari Pasal 23.
Negara penerima akan memberikan kemudahan-kemudahan kepada negara pengirim untuk mendapatkan tempat-tempat yang diperlukan bagi perwakilannya di negara penerima atau membantu negara pengirim untuk memperoleh akomodasi. Hak kebebasan pajak ini pada hakikatnya bukanlah hak yang dapat dituntut, melainkan hak yang bersumber dari kebiasaan yang lebih merupakan kemurahan hati dan penghormatan dari negara penerima.
B.1. Keistimewaan Diplomatik yang Kedua adalah Pembebasan dari Kewajiban Militer.
Menurut Pasal 35 Konvensi Wina 1961 negara penerima akan membebaskan semua agen diplomatik dari layanan pribadi, semua layanan publik apapun, dan militer dari kewajibans eperti yang berhubungan dengan keharusan menyediakan barang (requisitioning), sumbangan militer, dan penyediaan akomodasi.

B.2. Keistimewaan Diplomatik yang ketiga adalah Pembebasan Bea dan Cukai.
Negara penerima sesuai dengan hukum dan peraturan yang dianutnya, mengizinkan pemasukan dan memberikan pembebasan dari semua bea dan cukai, pajak dan biaya yang bersangkutan. Selain dari pada biaya-biaya penyimpanan, angkutan dan pelayanan jasa semacamnya, atas barang-barang untuk penggunaan resmi dari misi dan barang-barang untuk keperluan pribadi wakil diplomatik atau anggota keluarganyayangmerupakanbagiandari rumahtangganya, termasuk barang-barang yang diperuntukkan kediamannya.Namun apabila negara penerima berkeyakinan bahwa barang-barang yang dimasukkanke negara penerima itu berisi alat-alat yang tidak ditujukan untuk keperluan dinas, ataupun barang-barang yang dilarang undang-undang nasional negara penerima maka dilarang untuk diimpor atau diekspor ataupun diawasi oleh peraturan karantina yang berlaku di negara penerima adalah terlarang atau tidak akan diizinkan masuk ke negara penerima.
B.3. Keistimewaan Diplomatik yang Keempat adalah Pembebasan dari ketentuan JaminanSosial.
Seorang wakil diplomatik, sehubungan dengan pelayanan yang diberikan untuk negara pengirim dibebaskan dari ketentuan jaminan sosial yang berlaku dinegara penerima. Pembebasan ini juga berlaku terhadap pelayan pribadi yang hanya bekerja untuk wakil diplomatik, dengan syarat bahwa mereka bukan warga negara atau penduduk tetap di negara penerima danmereka dilindungi oleh ketentuan-ketentuan jaminan sosial yang dapat berlaku di negara pengirim atau negara ketiga.
B.4. HAK DAN KEWENANGAN PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK
Mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dibagi menjadi dua, yaitu :
Inviolability. Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan dari aparat negara yang berkepentingan. Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima.
Kekebalan diplomatik adalah hal yang tidak dapat diganggu gugat, kekebalan diplomatik yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi :
a. kekebalan terhadap diri pribadi
b. Kekebalan yurisdiksional
c. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi.
d. kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman
e. kekebalan korespondensi (berkenaan dengan kerahasiaan dokumen).
f. kekebalan dan keistimewaan di negara ketiga.
g. penanggalan kekebalan diplomatik.
h. pembebasan dari pajak dan bea cukai/bea masuk.
Berdasarkan pada konvensi Wina 1961 itu, kekebalan itu diberikan pada :
a. pejabat perwakilan diplomatik.
b. Staf pribadi
c. Anggota keluarga pejabat diplomatic
d. Kurir diplomatik dan lainnya.
C. Dasar Teoritis dan Yuridis Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
A. Dasar Teoritis
Adapun teori-teori mengenai mengapa diberikannya kekebalan-kekebalan dan hak istimewa, di dalam hukum internasional terdapat tiga teori yaitu ;

1. Teori Exterritoriality
Artinya ialah bahwa seorang wakil diplomatik itu karena Eksterritorialiteit dianggap tidak berada di wilayah negara penerima, tetapi di wilayah negara pengirim, meskipun kenyataannya di wilayah neghara penerima. Oleh sebab itu, maka dengan sendirinya wakil diplomatik itu tidak takluk kepada hukum negara penerima. Begitun pula ia tidak dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima.
2. Teori Representative Character
Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan diplomatik dan hak istimewa kepada sifat dari seorang diplomat, yaitu karena ia mewakili kepala negara atau negaranya di luar negeri.

3. Teori Kebutuhan Fungsional
Menurut teori ini dasar-dasar kekebalan dan hak-hak istimewa seorang wakil diplomatik adalah bahwa wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna. Segala yang mempengaruhi secara buruk haruslah dicegah.

B. Dasar Yuridis
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak kekebalan dan hak istimewa dalam Konvensi Wina 1961 dijumpai dalam pasal 22 sampai 31, hal mana dapat diklasifikasikan dalam:
1.      Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai pada pasal 22, 24 dan 30

2.      Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pekerjaan atau pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal 25,26 dan 27


3.      Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pribadi wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal 29 dan 31Disamping Konvensi Wina 1961 yang merupakan yuridis pemberian dan pengakuan hak kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik yang merupakan perjanjian-perjanjian multilateral bagi negara-negara pesertanya, juga dibutuhkan perjanjian bilateral antar negara yang merupakan pelaksanaan pertukaran diplomatik tersebut, sebagai dasar pelaksanaan kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik

D. Mulai berlakunya kekebalan dan keistimeawan diplomatik
Menurut Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, setiap orang yang berhak mendapatkan hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan mulai menikmatinya sejak pengangkatannya diberikan kepada Kementerian Luar Negeri atau kepada kementerian lainnya sebagaimana mungkin telah disetujui.
Pasal 39 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan, bahwa:
Every person entitled to privileges and immunities shall enjoy them from the moment he enters the territory of the receiving State on proceeding to take up his post or, if already in its territory, from the moment when his appointment is notified to the Ministry for Foreign Affairs or such other ministry as may be agreed.
Adapun maksudnya adalah, setiap orang berhak atas hak istimewa dan menikmati kekebalan (immunities) dari saat dia memasuki wilayah negara penerima dan melanjutkan untuk mengambil pos itu, atau jika sudah dalam wilayah, dari saat ketika itu adalah janji diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri lain atau departemen yang akan disepakati. Hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan tetap berlangsung sampai diplomat mempunyai waktu sepantasnya menjelang keberangkatannya setelah menyelesaikan tugasnya di suatu negara penerima.
E. Berakhirnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik
Bagi negara pengirim sudah jelas bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dari wakil-wakil diplomatiknya berakhir atau tidak berlaku lagi pada saat mereka sudah berada kembali di negara-negara mereka sendiri. Karena tidaklah mungkin negara itu memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik kepada warga negaranya sendiri. Sedangkan bagi negara penerima, hak-hak istimewa dan kekebalan dari seorang perwakilan diplomatik asing yang masa jabatan atau tugasnya telah berakhir, biasanya pada saat ia meninggalkan negara itu, atau pada saat berakhirnya suatu waktu yang layak (resonable period/reasonable opportunity) yang diberikan kepadanya untuk meninggalkan negara penerima. Namun dalam hal tertentu, negara penerima dapat meminta negara pengirim untuk menarik diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata.

Pasal 39 ayat 2 Konvensi Wina disebutkan, bahwa:

When the functions of a person enjoying privileges and immunities have come to an end, such privileges and immunities shall normally cease at the moment when he leaves the country, or on expiry of a reasonable period in which to do so, but shall subsist until that time, even in case of armed conflict. However, with respect to acts performed by such a person in the exercise of his functions as a member of the mission, immunity shall continue to subsist
Artinya, apabila tugas-tugas seseorang yang mempunyai hak istimewa dan kekebalan itu biasanya berakhir pada waktu ia meninggalkan negeri itu, atau pada habisnya suatu masa yang layak untuk itu, tetapi harus tetap berlaku sampai waktu berangkat, bahkan dalam keadaan sengketa bersenjata. Namun sehubungan dengan tindakan-tindakan orang demikian dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang anggota perwakilan, kekebalan harus tetap berlaku. Kekebalan tidak berhenti dalam hal tugas-tugas resmi yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mereka. Sedangkan dalam hal kematian seorang diplomat, anggota keluarganya masih berhak untuk menikmati kekebalan dan keistimewaan sampai waktu yang dianggap cukup pantas.


PENUTUP
Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961 memberikan kewajiban khusus kepada negara penerima untuk mengambil semua tindakan yang patut untuk melindungi wisma-wisma perwakilan dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya.
Hukum diplomatik mengenal adanya prinsip ex gratia, yaitu suatu asas yang dipakai oleh negara penerima dalam menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan kerusakan gedung perwakilan asing termasuk mobil-mobil dan harta milik lainnya yaitu dengan memberikan kompensasi baik berupa penggantian maupun perbaikan terhadap kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian negara penerima dalam memberikan perlindungan dan pencegahan. Menurut praktik-praktik yang ada selama ini, kompensasi atas dasar ex gratia bukan saja diberikan atas gangguan secara langsung tetapi juga yang terjadi sebagai akibat gangguan lain yang tidak disengaja
Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa gedung perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Wina 1961 atau oleh aturan-aturan lain dari hukum internasional atau oleh persetujuan-persetujuan khusus yang berlaku antar negara pengirim dan negara penerima. Atas dasar ini, negara pengirim tidak boleh menggunakan gedung perwakilannya sebagai tempat untuk menyembunyikan atau menyekap seseorang yang berwarga negara pengirim atau menculik orang itu yang sedang berada di wilayah negara penerima dan menahannya di dalam gedung perwakilan dengan maksud secara paksa memulangkan orang itu ke negara asalnya.
Atas dasar Pasal 41 ayat 3 ini juga, gedung perwakilan asing tidak dibenarkan sebagai tempat untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kriminal. Hal ini adalah sebagai penghormatan perwakilan terhadap Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina 1961, yaitu bahwa seorang wakil diplomatik diharapkan untuk menghormati dan memperhatikan undang-undang dan peraturan hukum negara penerima, maka apabila salah seorang yang diinginkan oleh penguasa-penguasa negara-negara penerima, sehubungan dengan tindak pidana kriminal yang dilakukannya, yang telah berlindung di dalam kantor perwakilan asing tersebut, haruslah pejabat diplomatik mengizinkan polisi atau badan-badan yang berwernang setempat untuk menangkap orang tersebut, karena dengan izin yang diberikan oleh kepala perwakilan tersebutlah maka alat-alat negara dapat masuk ke dalam gedung perwakilan asing.





DAFTAR PUSTAKA
Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional” Law Online Library.
Suryokusumo, Sumaryo,(1995) “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Bandung: Alumni
Alhaj, Taufik Muchtar, “Analisis Yuridis Hubungan Diplomatik Organisasi Interansional Dan Negara Menurut Sumber Hukum Internasional”. Solo: UNS
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Beberapa situs internet.
#KUTIPAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar