Katakanlah …

Aku tak diciptakan untuk kalah.

Kemenangan adalah hak hidupku.

Itu sebabnya sulit bagiku untuk menenangkan diri dalam kekalahan, tak mudah bagiku menyaksikan keberhasilan orang lain, dan itu pasti sebabnya aku membenci keadaan yang begini-begini saja.

Aku harus berani.

Aku harus berani meninggalkan kebiasaan lama yang hanya membuatku gelisah dan minder.

Aku harus berani memasukkan diriku kedalam pergaulan yang selama ini kujauhi, dan melibatkan diriku dalam pekerjaan yang baik hasilnya bagi diriku dan sesamaku.

Aku harus berani.

Aku akan tampil lucu sekali, jika aku memimpikan yang tinggi dan besar, tapi semangatku rendah dan keberanianku kecil.

Aku harus berani.

Kehidupan yang tidak berani, bukanlah kehidupan yang menarik.

Aku harus berani sukses, atau aku harus ikhlas meratap dalam kelemahan.

Ini hidupku, aku harus berani.

I am a winner!

Mario Teguh

Jumat, 21 Januari 2011

HK.PERLINDUNGAN KONSUMEN

Product Liability

Az. Nasution dalam bukunya "Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar" memberikan pengertian bahwa product liability diterjemahkan sebagai tanggung jawab produk cacat. Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab yang sudah dikenal selama ini, karena tanggung jawab ini disebabkan oleh keadaan tertentu produk, barang dan/atau jasa, yang meletakkan tanggung jawab produk kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen). Banyak negara-negara yang menerapkan konsep ini dalam perundang-undangannya, bahkan Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa telah membuat peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai product liability ini diluar peraturan mengenai perlindungan konsumen.


Tanggung jawab produk cacat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Produk cacat
Definisi produk cacat adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannnya sebagaimana diharapkan orang.

2. Ada kerugian yang diderita pemakai/konsumen produk cacat atau pihak yang memiliki kaitan dengan penggunaan produk tersebut.

3. Tanggung jawab produsen
Tanggung jawab ini dibebankan kepada produsen tanpa kesalahan dari pihaknya, kecuali produsen dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Prinsip strict liability ini diterapkan dengan tujuan :

" Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut." Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari

Suatu produk dapat disebut cacat karena beberapa sebab yaitu:

1. Cacat produk atau manufaktur
Cacat seperti ini adalah cacat yang sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat demikian menjadikan keadaan produk berada dibawah tingkat pengharapan konsumen.

2. Cacat desain
Sebab apabila desain produk tidak dipenuhi sebagaimana mestinya maka kemungkinan akan timbul kejadian yang merugikan konsumen.

3. Cacat peringatan atau instruksi
Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Tanggung jawab atas cacat peringatan ini secara tegas dibebankan kepada produsen, tetapi dengan syarat-syarat tertentu beban tanggung jawab juga bisa dibebankan kepada pelaku usaha lainnya seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.



SUMBER : Hukum Perlindungan Konsumen .AZ Nasution





Product Liability

Product liability atau tanggung jawab product merupakan salah satu prinsip penting didalam UUPK .
 Menurut Agnes M. Toar product liability adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran yang menyebabkan kerugian pada pihak lain sebagai konsumen karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
Product disini secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangiable goods) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan Product Liability, produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible, seperti listrik, produk alami, tulisan, atau perlengkapan tetap pada rumah real estate dan juga yag termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggng jawab itu sendiripun bisa karena adanya perjanjian atau karena undang-undang (karena adanya perbuatan melawan hukum.

Kesimpulan
product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Gugatan dalam product liability dapat diajukan atas dasar :
• Pelanggaran jaminan yaitu berkaitan dengan jaminan dari pelaku usaha bahwa barang yang dijuaknya tidak mengandung cacat, baik cacat konstruksi barang, design, maupun label.
• Kelalaian yaitu apabila pelaku usaha gagal atau tidak dapat membuktikan bahwa dirinya telah cukup berhati-hati didalam membuat, menyimpan, mengawasi , memperbaiki dan atau mendistribusikan barang.
• Tanggung jawab mutlak

Sumber : Hukum perlindungan Konsumen SHIDARTA SH, MH

ASURANSI JIWA

Definisi Asuransi Jiwa
Definisi Asuransi jiwa adalah suatu pelimpahan resiko (Risk Shifting) atas kerugian keuangan (financial loss) oleh Tertanggung kepada Penanggung. Resiko yang dilimpahkan oleh Tertanggung tersebut kepada Penanggung bukanlah resiko hilangnya jiwa seseorang, melainkan kerugian keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa seseorang atau karena mencapai umur tua sehingga tidak produktif lagi.

Konsep Resiko
Nilai ekonomi hidup seorang kepala keluarga (the breadwinner) sama dengan kapasitas penghasilannya. Jika nilai ekonomi hidup seorang kepala keluarga hilang atau berkurang, maka yang akan menderita secara langsung atas kehilangan tersebut adalah sanak keluarganya. Resiko kehilangan penghasilan ini yang harus ditanggung oleh keluarga yang ditinggalkan.

Untuk mengurangi resiko tersebut pada zaman modern ini telah ditempuh satu cara dengan mengalihkan atau melimpahkan resiko tersebut kepada pihak lain, dalam hal ini Lembaga Asuransi Jiwa yang mengkhususkan usahanya dibidang ini sebagai profesinya. Pelimpahan resiko tersebut lebih popular disebut dengan “membeli polis asuransi jiwa”.

Jenis Resiko yang Dapat Dipertanggungkan
Sepanjang hidup manusia selalu dihadapkan kepada kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dapat menyebabkan lenyap atau berkurangnya nilai ekonominya . Ini mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri dan keluarganya atau orang lain yang berkepentingan. Dengan kata lain, manusia selalu menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan menimbulkan resiko sebagai berikut;

(1) Meninggal dunia (death) baik secara alamiah (natural death) maupun meninggal pada usia muda karena sakit, kecelakaan (accidental death) dan lain sebagainya.

Setiap orang pasti akan meninggal dunia, meskipun tidak pasti kapan hal tersebut akan terjadi. Kematian pencari nafkah akan berakibat hilangnya sumber pendapatan bagi yang berkepentingan. Oleh karena itu diperlukan jaminan keuangan dalam jangka waktu tertentu selama yang ditinggalkan belum dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru.


(2) Cacat badan (disability) karena sakit atau kecelakaan.
Sebagai akibat sakit atau kecelakaan, seseorang secara fisik atau mental tidak dapat bekerja sementara sehingga mempengaruhi penghasilan. Sedangkan jika seseorang menderita cacat total dan tetap, mereka tidak dapat bekerja sama sekali.

(3) Penyakit kritis
Penyakit kritis bisa datang sewaktu-waktu tanpa memandang usia, apakah seseorang itu masih muda atau sudah tua. Penyakit kritis itu tidak dapat diketahui kapan datangannya dan tidak dapat diketahui dengan pasti.

(4) Umur tua (old age) / Pensiun
Peristiwa hari tua pasti akan terjadi, tetapi berapa lama kehidupan hari tua tersebut berlangsung, tidak bisa diketahui dengan pasti.


(5) Pendidikan
Perkembangan dunia pendidikan semakin lama semakin bagus. Biaya seorang anak yang akan melanjutkan pebndidikan semakin lama pun semakin mahal. Orang tua harus bisa mensiasati perkembangan dunia pendidikan dengan sangat serius, karena biaya pendidikan sekarang dan sepuluh tahun kedepan pasti jauh berbeda peningkatanya.



Jenis-jenis polis asuransi jiwa
Dari berbagai macam jenis asuransi jiwa yang tersedia saat ini, pada dasarnya ada 3 jenis asuransi jiwa;

1. Asuransi jiwa berjangka ( Term Insurance)

Merupakan kontrak asuransi jiwa dimana uang pertanggungan dibayarkan hanya jika kematian terjadi dalam periode masa pertanggungan asuransi masih berlaku. Term Insurance adalah bentuk asuransi yang paling sederhana dan paling tua. Jenis asuransi ini terkadang disebut juga asuransi sementara, sesuai dengan asuransinya. Jumlah premi pada asuransi ini juga termurah dibandingkan dengan asuransi jiwa seumur hidup dan asuransi jiwa Dwiguna.

2. Asuransi Jiwa Seumur Hidup (Whole Life Insurance)

Asuransi Jiwa seumur hidup dirancang untuk menyediakan proteksi seumur hidup Tertanggung selama ia menjaga polisnya tetap aktif dengan melalui pembayaran premi polisnya. Selain proteksi meninggal, polis in juga menyediakan elemen tabungan yang dikenal sebagai nilai tunai yang timbul karena premi tetap.

3. Asuransi Jiwa Dwiguna

Asuransi ini terdiri dari dua elemen, yaitu proteksi jiwa dan tabungan. Proteksi jiwa memberikan perlindungan kematian. Elemen tabungan pada asuransi ini lebih tinggi sehingga sesuai untuk tujuan menabung. Dengan adanay elemen tabungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Asuransi Berjangka dan Asuransi Jiwa seumur Hidup




4. Asuransi Jiwa Unitlink

Selain ketiga jenis polis di atas atau disebut juga polis tradisional, dalam bisnis asuransi jiwa dikenal pula polis asuransi Unitlink. Polis asuransi jiwa Unitlink menggabungkan komponen asuransi dengan dana investasi. Polis ini memberikan pemegang polis perlindungan asuransi jiwa sekaligus kesempatan untuk berpartisipasi dalam investasi yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Dana yang ditempatkan dalam produk dipotong untuk perlindungan asuransi dan sisanya diinvestasikan dalam bentuk unit dari dana yang terkait.

Tujuan dari polis ini adalah untuk investasi. Dengan mengaitkan hasil investasi polis unitlink dengan kinerja dari sebuah dana, pemegang polis berpotensi mendapatkan hasil investasi lebih tinggi daripada polis tradisional. Risiko investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemegang polis dan kemungkinan nilai polis bisa turun. Jadi, walalupun hasil investasi polis berpotensi lebih besar, dari polis tradisioanl, resiko investasinya juga besar.

Jenis-jenis Produk Unitlink

1. Premi Tunggal
Untuk premi tunggal, premi dibayarkan sekaligus (lump sum) dan digunakan untuk membeli unit dari suatu dana.

2. Premi Berkala atau Premi Reguler
Untuk jenis ini premi dibayar secara berkala atau reguler. Unit dibeli begitu premi diterima.

ASURANSI LAUT

Hukum Pengangkutan Laut : Asuransi Laut
Marine Insurance Latar belakang,maksud dan tujuan
• Risiko-risiko laut seringkali dalam suatu pelayaran
• Tidak ada perusahaan pelayaran niaga(pengangkut) yang mau menerima barang-barang untuk diangkut ketempat tujuan ,jika barang-barang tersebut tidak diasuransikan
• Untuk meringankan beban pemilik barang dalam persoalan tuntutan ganti rugi terhadap pengangkut
• Juga untuk meringankan beban pengangkut dalam soal tuntutan ganti rugi
Asuransi Laut/pengertian
• Perjanjian pertanggungan (contract of indemnity) berlangsung antara 2 pihak yang berkepentingan ,penanggung (Insurer/underwriter) dan tertanggung (assured)
• Pasal 246 KUHD: “penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian tertanggung yang diakibatkan oleh kehilangan ,kerusakan ,kerugian dan tidak diperoleh nya keuntungan yang diharapkan, yang diderita oleh tertanggung karena suatu peristiwa yang tidak diketahui atau tidak diduga lebih dulu sebagai imbalan dari tanggungan yang diberikan oleh penanggung pada waktu penutupan
Asuransi laut /pengertian Insurer/underwriter/ perusahaan asuransi (penanggung)
• Pertanggungan hanya dapat ditutup jika tertanggung mempunyai kepentingan (interst) atas hak milik yang ditanggung (ps 250 kuhd)
• Pertanggungan hanya dapat ditutup atas kepentingan yang boleh ditanggungkan (insurable interst/property)
• Insurable Interst , barang yang dapat diperdagangkan secara sah,tujuan pengangkutan harus legal (pasal 599 kuhd)
Asuransi Laut /Pengaturan
• Bab IX bukun I KUHD tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya.
• Bab ix Buku II KUHD tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan terhadap bahaya perbudakan.
Asuransi Laut /syarat-syarat tuntutan/klaim
• Tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan oleh pemilik barang kepada penanggung, harus dicantumkan dengan jelas pada polis asuransi
• Note: tidak semua kejadian yang menimbulkan kerugian ditanggung oleh penanggung,terbatas pada kejadian yang dicantumkan dalam polis asuransi,yang telah dirundingkan dan disepakati oleh kedua belah pihak (tertanggung dan penanggung)
• Pengangkut pada prinsipnya bertanggung jawab atas semua sebab dan kejadian yang menimbulkan kekurangan /kerusakan barang-barang
• tetapi ada pengecualian yang membebaskan pengangkut dari kewajiban mengganti rugi
Asuransi Laut/syarat-syarat tuntutan/klaim
1. Pengangkutan bebas dari tuntutan ganti rugi apabila Barang2 rusak atau hilang karena force majure
2. Pengangkut bertanggung jawab terhadap sebab force majure,tapi dapat bebas dari akibat force majure
3. Terhadap sebab pengangkut wajib untuk mengusahakan upaya optimal untuk menghindarkan atau memperkecil resiko akibat dari force majure (kewajiban melakukan due diligence)
4. Pengajuan tuntutan ganti rugi selalu harus ditujukan kepada pengangkut terlebih dahulu , ada surat penolakan ,baru kemudian penanggung membayar ganti rugi pemilik barang
Syarat-syarat tuntutan klaim
1. Yang menuntut ganti rugi dia harus membuktikan kalau ia adalah pihak yang berkepentingan (ps 250 kuhd)
2. Yang menuntut ganti rugi harus membuktikan barang-barang nya benar-benar mengalami kerusakan/kerugian (pasal 481 dan 483 kuhd)
3. Yang menuntut ganti rugi harus membuktikan bahwa — atau kejadian yang mengakibatkan kerugian /kerusakan atas barang-barang adalah suatu kejadian /bencana yang ditanggung dalam polis
4. Yang menuntut ganti rugi harus membuktikan bahwa telah lebih dulu mengajikan tuntutan ganti rugi kepada pengangkut , tapi ditolak
5. Yang menuntut ganti rugi harus menjelaskan (disertai bukti) besarnya kerugian/kerusakan barang-barang yang dipertanggungkan
6. Yang menuntut ganti rugi harus membuktikan bahwa pengangkut telah diperingatkan bahwa dia akan dituntut terhadap kerusakan/kerugian barang-barang
7. Yang menurut ganti rugi harus dapat membuktikan harga barang-barang yang dipertanggungkan
Finalisasi Tuntutan/klaim
• Jika semua syarat sudah dipenuhi, maka penanggung akan membuat pernyataan ganti rugi (claim statement) yang memuat keterangan lengkap mengenai besarnya kerugian/kerusakan dan perhitungan jumlah ganti rugi yang akan dibayar oleh penanggung kepada tertanggung
• Tertanggung membuat kwitansi tanda terima, juga membuat surat subrograsi dan diserahkan kepada penanggung
• Surat subrogasi ini menjadi dasar bagi penanggung untuk menuntut ganti rugi dari pengangkut
• Apabila pengangkut sudah mengasurasikan tanggung jawabnya tersebut, maka penanggung atas liability insurance tersebut yang akan membayar ganti rugi kepada penanggung dari pihak pemilik barang
additional notes :Segala pertanggungan adalah batal apabila dibuat (pasal 599 KUHD)
• atas barang-barang yang menurut UU atau peraturan lainnya, tidak boleh diperdagangkan
• Atas sebuah kapal , baik kapal indonesia maupun kapal asing yang dipergunakan untuk mengangkut barang-barang tersebut

RE-ASURANSI

A. Pengertian Reasuransi dan Prinsip-prinsip dalam Hubungan Antara Penanggung dan Penanggung Ulang Dalam Perjanjian Reasuransi
Bila dalam asuransi telah didapatkan suatu definisi sebagaimana yang termaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan pasal 246 dan kemudian telah diperbaharui dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Pereasuransian pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 dalam hal reasuransi hingga saat ini belum terdapat defenisi yang telah dibakukan.
Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD Pasal 271 tersebut tampak sejiwa dan seirama dengan dikemukakan oleh pakar reasuransi Robert I Mehr dan E. Cammack dalam buku yang berjudul Principles of Insurance yang menyatakan: “ Reinsurance is the insurance of the insurance” (Ref. page no. 723), artinya reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau “ asuransinya asuransi “ (A.J. Marianto 1997).
Selanjutnya Robert I Mehr and Emerson cammack memberikan suatu contoh atau suatu penjelasan sebagai berikut : “ When a company has received from an agent a volume of insurance on a given property or in a given area, in excess of the amount it wishes to retain an its book, it can reinsure the contract “ (jika suatu perusahaan asuransi menutup risiko atau dia menutup risiko-risiko disuatu daerah tertentu melalui seorang agen, dia dapat mempertanggungkan ulang /kembali kelebihan resiko yang melampaui daya tampungnya). (A. J. Marianto 1997).
Berdasarkan pengertian diatas, perusahaan asuransi berdasarkan prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan, telah menutup suatu pertanggungan atas risiko atau risiko-risiko di suatu daerah tertentu dapat mempertanggungkan kembali kelebihan tanggung gugat atau excess liability yang melampaui daya tampungnya sendiri atau own retention kepada penanggung lain.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pengertian reasuransi versi lain oleh beberapa pakar ahli :
1. GF. Michelbacher
Dalam bukunya yang berjudul Multiple Line Insurance , G.F. Michelbacher membuat rumusan pengertian reasuransi sebagai berikut : “ The process whereby one insurer arranges with one or more other insurers to share risk is reinsurance “ (proses dengan mana satu penanggung mengatur dengan satu atau lebih penanggung lainnya untuk membagi risiko disebut reasuransi / pertanggungan ulang).
Dari rumusan tersebut Michelbacher mengartikan reasuransi sebagai suatu proses yang dimana satu penanggung mengatur dengan satu atau lebih penanggung lainnya dengan tujuan untuk membagi risiko.
2. Mollengraaf
Mollengraaf menyatakan reasuransi adalah persetujuan yang dilaksanakan oleh suatu penanggung dengan penanggung lainnya yang dinamakan sebagai penanggung ulang (reasuradur), dalam persetujuan mana pihak kedua dengan menerima premi yang ditentukan terlebih dahulu bersedia memberikan penggantian kepada pihak pertamaa mengenai penggantian kerugian yang pihak pertama wajib membayarnya kepada tertanggung akibat dari suatu pertanggungan yang diadakan antara pihak pertama dan tertanggung.
3. R. C. REINARZ
“ Reasuransi adalah akseptasi oleh suatu penaggung yang dikenal sebagai reasuradur / penaggung ulang atas semua atau sebagian risiko kerugian dari penanggung lainnya yang disebut pemberi sesi (ceding company) ”.
Berdasarkan dari berbagai pendapat para pakar tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian reasuransi dalam arti yang sebenarnya dapat ditinjau dari beberapa aspek sebagai berikut :
a. Aspek teknis
b. Aspek hukum
c. Aspek keuangan
a. Pengertian reasuransi dari aspek teknis
Ditinjau dari aspek teknis reasuransi merupakan suatu cara atau alat/sarana untuk mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterimanya dengan mengalihkan seluruh atau sebagian risiko itu kepada pihak penanggung lain. Risiko yang dihadapi penanggung pertama dalam arti yang sebenarnya adalah beban risiko yang mungkin timbul sebagai akibat kegiatan usaha yang dilakukannnya dengan mengambil alih seluruh atau sebagian risiko yang dihadapi tertanggung asli. Dengan demikian pertanggungan ulang (reasuransi) mempunyai peraanan yang sangat besar dalam bidang industri asuransi.
b. Pengertian reasuransi dari aspek hukum
Dari aspek hukum, reasuransi adalah suatu perjanjian antara satu penanggung dengan satu atau lebih penanggung ulang/reasuradur. Penanggung wajib memberi dan penaggung ulang sepakat wajib menerima seluruh atau sebagian risiko yang diberikan kepadanya. Seperti halnya asuransi, perjanjian pertanggungan ulang juga bersifat timbale balik. Perjanjian ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara kedua pihak. Oleh karena itu penanggung ulang juga berhak menerima seluruh atau sebagian premi yang diterima oleh penanggung pertama berdasarkan polis yang telah diterbitkan.
c. Pengertian reasuransi dari aspek keuangan
Dari gejala ekonomi, maksud dan tujuan penanggung mengadakan perjanjian reasuransi dengan mengalihkan seluruh atau sebagian risiko yang diterimanya karena perjanjian asuransi kepada para penanggung lainnya adalah untuk mengubah suatu ketidakpastian agar menjadi lebih pasti, demi kesinambungan usahanya dalam menghadapi segala kemungkinan atau peluang kewajiban membayar ganti rugi atau santunan yang besar yang dapat menimbulkan hasil underwriting yang buruk dan memperngaruhi keadaan keuangan.

Reasuransi memiliki bebrapa fungsi yaitu diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Memberi jaminan atau perlindungan kepada penanggung dari kerugian-kerugian underwriting yang dapat sewaktu-waktu membahayakan likuiditas, solvabilitas, dan kelestarian kegiatan usaha mereka.
2) Menaikkan kapasitas akseptasi perusahaan asuransi atas risiko-risiko yang melampaui batas kemampuannya karena kelebihan tanggung-gugat yang tidak bisa mereka tampung sendiri akan dijamin oleh penanggung ulang yang telah bersedia menampungnya.
3) Sebagai alat penyebar resiko, baik dipasaran reasuransi dalam negeri maupun dipasaran luar negeri.
4) Bila kerjasama reasuransi atas sebagian resiko dilakukan antar sesama perusahaan asuransi, akan terdapat dua fungsi didalamnya, yaitu sebagai penyebaran risiko dan sebagai sarana pertukaran bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan premi yang dapat ditahan karena disamping adanya pengeluaran terdapat pulapemasukan premi.
5) Meningkatkan atau mendukung kestabilan hasil underwriting dan keadaan keuangan perusahaan asuransi, termasuk menjaga stabilitas pendapatannya. Dalam hal ini, reasuransi seolah-olah berfungsi menyediakan fasilitas bank kepada perusahaan asuransi .
6) Meningkatkan dan memperbesar keleluasaan dalam melakukan pemasaran berbagai macam produk asuransi, baik yang konvensional maupun yang baru dengan segala macam tingkat besar kecilnya resiko.
7) Secara tidak langsung reasuransi dapat berfungsi membantu membiayai kegiatan usaha perusahaan asuransi, khususnya disesikan berdasarkan kontrak reasuransi.
Hubungan antara penanggung (ceding company) dan para penanggung ulang yang sangat mendasar berpijak pada lima prinsip asuransi dan ditambah dengan satu prinsip lainnya yang disebut prinsip / asas Follow the fortunes of the ceding company. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dibawah ini :
1. Prinsip itikad baik
Semua perjanjian dilakukan berdasarkan itikad baik, termasuk perjanjian asuransi dan reasuransi. Berdasarkan prinsip ini, kedua pihak baik penanggung pertama (ceding company) maupun penanggung ulang (reinsurer), wajib melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undang-undang.
Yang dimaksud dengan melakukan sesatu dalam pelaksanaan perjanjian reasuransi adalah bahwa pihak penaggung wajib pula melakukan pengungkapan dan atau memberitahukan segala data dan keterangan tentang objek dan atau kepentingan yang ditanggung olehnya. Tidak diperkenankan menyembunyikan segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung ulang berhubungan dengan keikutsertaan mereka dalam menanggung seluruh atau sebagian resiko.
Apabila ceding company telah melakukan kesengajaan menyembunyikan fakta, berarti mereka telah melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau melanggar itikad baik yang dapat menyebabkan dibatalkannya perjanjian reasuransi yang telah terbentuk. Lebih-lebih bila terjadi unsur penipuan, perjanjian reasuransi yang telah dibentuk akan menjadi batal dengan sendirinya menurut hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1321.


2. Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan
Selain berlaku pada perjanjian asuransi, asas ini juga berlaku pada perjanjian reasuransi. Dengan melakukan atau menerima penutupan pertanggungan, pihak penanggung telah memilki kepentingan yang timbul karena adanya perikatan, yaitu tanggungjawab / gugat atas klaim yang terjadi akibat peristiwa yang diperjanjikan. Dengan perkataan lain, penanggung akan selalu menghadapi kemungkinan terjadinya tuntutan ganti rugi yang dapat timbul setiap saat atas pertanggungan yang ditutupnya. Oleh karena itu, berdasarkan KUHD Pasal 271, penanggung berhak sekali lagi mempertanggungkan ulang / kembali pertanggungan yang ditutupnya.
3. Prinsip ganti rugi
Sebagian yang berlaku pada perjanjian pertanggungan, penggantian dan atau pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung ulang hanya terbatas pada kerugian sebenarnya yang dibayarakan oleh penanggung pertama kepada tertanggung asli sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku serta sah menurut hukum. Jumlah penggantian yang dibayar oleh para penanggung ulang kepada penanggung pertama haruslah sebanding dengan saham atau penyertaannya dalam reasuransi.
4. Prinsib subrogasi
Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti kerugian yang sah pada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak tertanggung untuk memperoleh pemulihan dan atau menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggungjawab atas segala kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.
5. Prinsip kontribusi / saling menanggung
Prinsip kontribusi atau saling menanggung ini pada hakikatnya bukan hanya berlaku dalam hal asuransi, melainkan juga berlaku dalam hal reasuransi. Hubungan mendasar antara penanggung pertama dan penanggung ulang tentang prinsip ganti kerugian yang juga menganut ketentuan tolak ukur ganti kerugian dan ketentuan lainnya yang telah dijelaskan, kontribusi juga dipakai sebagai dasar mentukan pembagian resiko dan atau sesi kepada para pihak yang bersangkutan termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung bersama sesusai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi dan reasuransi. Dalam hal asuransi dibawah harga kontribusi dilaksanakan antara penanggung dan tertanggung karena dalam hal ini tertanggung dianggap ikut serta menanggung sebagian resiko atas kepentingan yang dipertanggungkan sedangkan dalam hal reasuransi kontribusi dilaksanakan antara penanggung pertama dan pihak penanggung ulang.
6. Prinsip follow the fortune of theceding company
Prinsip mengikuti keberuntungan penanggungung pertama tidak boleh diartikan secara luas dan tampa batas tanggung jawab penaggung ulang dalam hal reasuransi hanyalah ter batas pada klaim yang sah dan wajib dibayar oleh penanggung pertama sesuai dengan jumlah kerugian sebenarnya sekalipun berdasarkan teori maupun praktek penanggung ulang dapat diminta persetujuannya untuk menyetujui penyelesaian klaim atas dasar kompromi atau ex-gratia, penanggung pertama harus mempunyai argumentasi dan pertimbangan komersial bahwa kebijaksanaan itu berlandaskan pada perhitungan untung rugi demi kepentingan bersama
B. Keamanan Atas Jaminan Reasuransi
Jaminan atau perlindungan reasuransi atas kelebihan tanggung gugat / jawab dari beban risiko yang ditanggung oleh perusahaan-perusahaan asuransi berdasarkan polis yang diterbitkan memang sangat diperlukan karena berbagai macam alasan baik teknis maupun non teknis. Meskipun demikian masalah keamanan adalah suatu hal yang sangat penting atau serius dan wajib ditempatkan sebagai pertimbangan utama dalam menempatkan bisnis reasuransi. Proteksi reasuransi memang sangat diperlukan, tetapi setiap penanggung pertama ataupun pialang reasuransi sebagai wakil mereka akan selalu lebih mengutamakan proteksi yang aman, disamping mengharapkan persyaratan, kondisi dan harga yang kompetitif serta pelayanan yang baik.
Keamanan jaminan reasuransi harus diamati secara terus menerus karena bisa mengalami perubahan-perubahan. Bisa saja terjadi suatu kemungkinan bahwa dalam beberapa tahun sebelumnya mereka termasuk kelompok security yang baik, tetapi karena sesuatu dan lain hal ternyata diantara mereka telah mengalami kemunduran sehingga dinilai tidak akan dapat memberikan proteksi reasuransi yang aman.
Apabila mengadakan perjanjian reasuransi dengan penanggung pertama secara langsung ataupun melalui pialang reasuransi, para penanggung ulang selalu melakukan penilaian, baik terhadap program reasuransi yang ditawarkan ataupun terhadap keadaan, reputasi, kedudukan pihak penanggung pertama di dalam pasar, ditinjau dari segi teknis maupun non teknis.
C. Metode Dalam Perjanjian Reasuransi
Berbicara mengenai metode dan tipe-tipe reasuransi, harus kita bedakan arti antara istilah metode reasuransi dan tipe reasuransi untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Metode reasuransi hendaknya diartikan sebagai cara bagaimana para pelaku pasar reasuransi itu melakukan kerjasama reasuransi, sedang tipe reasuransi hendaknya kita artikan sebagai bentuk pelaksanaan dari cara melakukan transaksi reasuransi. Menurut berbagai literatur reasuransi / asuransi terdapat tiga cara dalam melakukan kerjasama asuransi antara pihak penanggung pertama (direct insurers) dan pihak penaggung ulang (reinsurers), yaitu :
1. Metode reasuransi secara fakultatif
Metode reasuransi secara fakultatif adalah transaksi pertanggungan ulang antara pihak penaggung pertama dan para penanggung ulang secara bebas, yaitu para pihak penanggung ulang tidak terikat harus menerima penawaran pertanggungan ulang. Dengan perkataan lain, para penaggung ulang dapat menolak atau mmenerima penawaran pertanggungan ulang berdasarkan kebijakan akseptasi yang telah mereka tetapkan.
Berdasarkan metode pertanggungan ulang secara fakultatif ini, para penaggung ulang dapat melakukan seleksi resiko sesuai denga kebijakan underwriting yang telah digariskan. Hal ini dapat dipahami bersama mengingat tingkat risiko dari objek atau kepentingan yang dipertanggungkan itu berbeda-beda. Dalam praktek telah dikenal adanya tiga tingkatan resiko, yaitu yang digolongkan sebagai objek beresiko rendah / sederhana (simple risk), objek beresiko berbahaya (hazardous risks), dan objek beresiko sangat berbahaya (extra hazardous risks).

2. Metode reasuransi secara kontrak (treaty)
Yang dimaksud dengan metode reasuransi secara kontrak adalah perjanjian antara pihak penangung pertama dan para penanggung lain atau para pengnggung ulang profesional yang dalam perjanjian tersebut pihak penaggung pertama, yang selanjutnya disebut pemberi sesi atau ceding company, setuju memberikan bagian (share) dan para penaggung ulang, yang selanjutnya disebut pihak kedua, setuju dan wajib menerima bagian atau sesi dari tanggungjawab atas asuransi yang telah ditutup oleh penggung pertama sesuai dengan pembagian yang telah disepakati oleh masing-masing penanggung ulang (peserta treaty) sampai dengan batas-batas tanggung gugat/jawab tertinggi dari setiap kelas resiko berdasarkan pernyataan dan ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam kontrak reasuransi.
3. Metode reasuransi pool dan facultative obligatory
a. Metode reasuransi pool
Maksud dan tujuan membentuk kerjasama secara pool pada lazimnya didasarkan atas berbagai sasaran yang dituju. Sasaran dan tujuan pembentukan kerjasama sistem pool yang paling penting adalah untuk mengatasi berbagai macam persoalan melalaui kerjasama yang saling menguntungkan dan saling membantu antar sesama anggota pool dalam mewujudkan penyebaran resiko, diantaranya dengan melakukan pertukaran bisnis.
Pengertian kerjasama pool pada saat ini lebih terkenal dengan istilah konsorsium meskipun penerapan kedua istilah itu sangat tergantung pada tujuannya. Pembentukan konsorsium mempunyai tujuan dan sasaran yang khusus, hanya untuk mengatasi kesulitan penanganan atau pengelolaan objek yang beresiko tinggi dengan jumlah pertanggungan yang tidak mungkin ditangani oleh satu penanggung atau untuk mengatasi risiko dalam satu komplek besar (khususnya pasar).
Metode kerjasama pool dalam kontrak reasuransi dikenal denga istilah asing reciprocal pool. Metode kerjasama seperti ini tidak hanya dilakukan antar sesama perusahaan asuransi didalam negeri, tetapi juga dapat diperluas antar wilayah negara tetangga. Cara yang demikian sangat bermanfaat unutk mengatasi daya tampung nasional yang terbatas dari tiap-tiap negara yang bersangkutan sehingga tidak banyak tergantung pada satu pasar tertentu yang juga memiliki keterbatasan kapasitas atau daya tampung.
b. Facultative obligatory
Jenis penutupan pertanggungan ulang seperti ini sebenarnya merupakan suatu cara penempatan pertanggungan ulang secara kontrak meskipun masih terdapat kata “facultative”. Dengan adanya kata “wajib” (obligatory) pihak penanggung wajib menerima semua kelebihan tangtgung gugat yang sudah tidak tertampung dalam kontrak pertanggungan ulang sampai dengan limit yang telah ditentukan. Melalui cara ini pihak penanggung pertama tidak perlu lagi melakukan penawaran reasuransi satu persatu karena secara otomatis telah memperoleh fasilitas jaminan yang cukup memadai serta tidak perlu merasa cemas, seperti mengahadapi risiko penolakan apabila mereka melakukan penaaran penempatan pertanggungan ulang secara fakultatif biasa. Dengan cara ini penaggung pertama juga dapat bekerja lebih efisien dan efektif karena dapat menghemat banyak biaya, waktu, dan tenaga dibandingkan harus melakukan penawaran satu persatu.
Dalam pelaksanaannya, pihak penanggung ulang akan membatasi pada risiko-risiko tertentu dengan persyaratan premi segera atau secepat mungkin dalam waktu yang telah ditetapkan, akan memberikan komisi reasuransi yang lebih rendah atau sataraf dengan komisi fakultatif biasa, serta tanpa pemberian komisi keuntungan.
D. Persyaratan dan Ketentuan Kontrak Reasuransi
Sebagaimana lazimnya setiap kontrak perjanjian, kontrak perjanjian reasuransi juga akan menyebutkan segala persyaratan dan ketentuan yang telah disepakati bersama antara pihak pemberi sesi dan penanggung ulang yang disebut juga sebagai penerima sesi.
Beberapa persyaratan dan ketentuan yang sangat penting, yang kiranya perlu untuk kita ketahui bersama, antara lain yang berkenaan dengan :


1) Komisi reasuransi (reinsurance commission)
Komisi reasuransi ( reinsurance commission, yang lazim disingkat R/I comm) yang diberikan oleh penanggung ulang kepada pemberi sesi adalah sebagai imbalan jasa atas bisnis reasuransi yang disesikan kepadanya oleh pemberi sesi. Besarnya komisi reasuransi yang dapat diberikan kepada pemberi sesi sangat tergantung pada kelas bisnis yang yang disesikan dan biasanya lebih besar dari komisi reasuransi yang diberikan kepada agen atau pialang reasuransi.

Besarnya komisi reasuransi yang diberikan oleh penanggung ulang kepada pemberi sesi lazimnya 3% sampai dengan 7,5% lebih besar dari komisi reasuransi yang diberikan kepada agen / pialang karena pemberian komisi reasuransi tersebut mempunyai tujuan untuk pengganti biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemberi sesi dalam rangka memperoleh bisnis.

Kembali kepada masalah komisi reasuransi, dalam hal penetapan besar kecilnya komisi reasuransi, para pihak pemberi sesi biasanya lebih menyukai bila didasarkan pada flat rate karena selain memudahkan perhitungan sesi bersuh yang harus disesikan juga lebih menguntungkan baginya meskipun loss ratio dari sesi tahun yang berjalan lebih besar dari, katakanlah 35%.

Khususnya untuk sesi yang didasarkan pada akseptasi reasuransi fakultatif biasanya penaggung ulang hanya memberikan komisi reasuransi yang lebih kecil dari komisi reasuransi atas sesi yang didasarkan pada kontrak quota share dan berkisar antara 2,5% sampai dengan 5% lebih kecil dari sesi atas dasar kontrak reasuransi pada jenis pertanggungan yang sama.
2) Komisi keuntungan (profit commission)
Komisi keuntungan adalah suatu komisi yang diberikan oleh penerima sesi/ penanggung ulang kepada pemberi sesi yang lazimnya disebut juga reinsured. Komisi keuntungan hanya diberikan bila hasil bersih yang disesikan kepada penanggung ulang menunjukkan keuntungan bagi penerima sesi. Dalam praktek profit commission jarang diberikan kepada pemberi sesi yang didasarkan atas non-proportional traties, tetapi seandainya dapat dfisepakati bersama lazimnya diperhitungkan atas dasar tahun penutupannya.

Tujuan pemberian komisi keuntungan kepada pemberi sesi adalah merupakan suatu perangsang agar pemberi sesi selalu mengusahakan agar hasil/saldo bersih yang disesikan akan memberikan keuntungan bagi penerima sesi. Bila pemberi sesi dapat memperoleh komisi keuntungan, pendapatan ini juga digunakan untuk menutup biaya operasi untuk memperoleh bisnis.

3) Klausul MPL (maximum possible loss)
Yang dimaksud dengan klausul MPL adalah suatu kalusul yang mencantumkan ketentuan bahwa pihak penanggung atau pemberi sesi dapat menetapkan retensi sendiri dan memberi sesi reasuransi sampai pada batas tertinggi sesuai dengan tingkat MPL dan setiap resiko yang diterima atau ditutup oleh pihak penanggung pertama (pemberi sesi).
Klausul ini dicantumkan dalam naskah perjanjian apabila telah disepakati bersama oleh pihak pemberi sesi wajib mencantumkan MPL yang benar-benar tepat karena apabila terjadi kesalahan dalam penilaian MPL atas sesi yang diberikan, mereka harus menanggung sendiri akibat kesalahan yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, pihak pemberi sesi wajib memiliki kemampuan yang tinggi dalam menilai atau mengkaji suatu resiko, yaitu sampai seberapa jauh MPL yang sebenarnya dari resiko yang mereka jamin.

OBJEK JAMINAN FIDUCIA & HAK TANGGUNGAN

OBJEK JAMINAN FIDUSIA

Objek Jaminan Fidusia sebagai yang kita simpulkan dari Pasal 1 Sub 2 Undang-undang Fidusia dan sebagai yang ditentukan dalam Pasal 1 sub 4 dan Pasal 3 Undang-undang Fidusia, mendapat penjabarannya lebih lanjut dalam Pasal 9 Undang-undang Fidusia yang mengatakan, bahwa :

Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian

- Objek jaminan fidusia bisa 1 (satu) benda tertentu atau lebih.

- Benda jaminan itu bisa merupakan benda yang tertentu atau disebutkan berdasarkan jenis, misalnya kopi robusta A, beras Cisadane

- Objek jaminan Fidusia meliputi, baik benda berwujud maupun benda tidak berwujud, yaitu piutang/tagihan dan tagihan itu meliputi baik yang sudah ada maupun yang akan ada.

- Tagihan yang akan ada  akan ada permasalahan gadai atas tagihan atas nama, yang dalam prakteknya di laksanakan dengan cara mencedeer (cessie) tagihan yang bersangkutan kepada kreditur. Karena cessie merupakan penyerahan tagihan atas nama, agar dengan itu tagihan menjadi hak dari kreditur/cessioneris, maka fidusia tagihan mempunyai persamaan dengan cessie tagihan. Kedua-duanya merupakan penyerahan hak milik yang hanya dimaksudkan sebagai jaminan saja. Oleh karenanya di sini berlaku juga apa yang sudah kita bahas di depan mengenai cessie sebagai jaminan.

- Untuk menghindarkan kesulitan dan keruwetan di kemudian hari, dalam Pasal 10 Undang-undang Fidusia sudah ditetapkan, bahwa jaminan Fidusia meliputi semua hasil dari benda jaminan Fidusia dan juga Klaim asuransi.



HAPUSNYA FIDUSIA

Pasal 25 Undang-Undang Fidusia mengatakan, bahwa

(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut;
a. Hapusnya hutang yang dijaminkan dengan Fidusia
b. Pelepasan hak atas jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia
c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan Fidusia

Ketentuan Pasal 25 sub 1a tersebut di atas merupakan konsekuensi logis dari sifat jaminan Fidusia sebagai perikatan yang accesoir yang dimaksud dengan ”Perikatan yang dijaminkan adalah ”Perikatan pokoknya”.

Jadi kata ”hutang” di sini harus ditafsirkan luas, meliputi segala macam perikatan, karena pada asasnya lembaga jaminan bisa dipakai untuk menjamin kewajiban prestasi yang timbul dari perikatan yang manapun.

Hapusnya perikatan, menurut Pasal 1381 KUHPerdata bisa terjadi karena :
- pembayaran
- penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
- pembaharuan hutang (novasi)
- perjumpaan hutang atau kompensasi
- musnahnya barang yang terhutang
- kebatalan atau pembatalan
- berlakunya syarat batal, yang diatur dalam bab I buku ini
- lewatnya waktu, yang hal mana di atur dalam suatu bab tersendiri

kata “pembayaran” harus ditafsirkan luas, sehingga meliputi semua pemenuhan kewajiban perikatannya.

Untuk pemenuhan kewajiban perikatan tertentu, debitur memerlukan kerja samanya dari kreditur. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya peristiwa di mana kreditur sengaja mempersulit pemenuhan prestasi debitur, maka diciptakannya lembaga ”penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan consignatie”

Pembaharuan hutang atau novasi mengakibatkan, bahwa perikatan lama yang diperbaharui menjadi hapus (vide Pasal 1413 KUHPerdata)

Kompensasi juga membawa akibat, kedua perikatan yang dijumpakan/dikompensir menjadi hapus untuk jumlah yang sama (vide Pasal 1425 jo Pasal 1426 KUHPerdata)

Percampuran hutang terjadi, kalau kualitas sebagai kreditur dan debitur bercampur pada 1 (satu) orang yang sama, dengan akibatnya perikatan yang bersangkutan menjadi hapus, suatu konsekuensi yang logis, bukankah tidak ada orang yang menagih dirinya sendiri?
Mengenai hal ini ada pengaturannya dalam Pasal 1436 KUHPerdata dalam mana dengan tegas disebutkan akibatnya, yaitu piutangnya menjadi hapus.

“Pelepasan hak atas jaminan Fidusia” merupakan penjabaran prinsip hukum perdata, yang mengatakan bahwa dalam hal undang-undang memberi kepada yang bersangkutan suatu hak atau perlindungan untuk kepentingannya, maka terserahlah kepada yang bersangkutan untuk memanfaatkannya atau tidak. Lain halnya kalau undang-undang bermaksud untuk melindungi kepentingan umum. Pelepasan hak atas jaminan Fidusia harus dibedakan dari “pembebasan hutangnya” dalam Pasal 1381 tersebut di atas, karena Pasal 25 sub 1a berbicara tentang jaminannya – perikatan jaminan – sedang Pasal 1381 berbicara tentang perikatan pokok.

Berdasarkan Pasal 1444 KUHPerdata kalau objek persetujuan musnah, tidak lagi bisa diperdagangkan atau hilang, maka akibatnya “hapuslah perikatannya”

Perikatan juga hapus karena “kebatalan” atau “pembatalan”. “Kebatalan” tertuju kepada “batal demi hukum” dan “Pembatalan” tertuju kepada kebatalan berdasarkan tuntutan.

Perikatan dengan bersyarat yang berupa syarat batal adalah perikatan-perikatan yang kalau terpenuhi syarat yang diperjanjikan membawa akibat, bahwa perikatan berhenti, dengan akibat lebih lanjut, yaitu para pihak kembali kepada keadaan semua seolah-olah tidak pernah ada perikatan antara para pihak, demikian kata Pasal 1265 KUHPerdata.

Mengenai lewatnya waktu atau kadaluwarsa, dalam hukum kita mengenal ada 2 (dua) macam, yaitu kedaluwarsa yang extinctief, yang menghapus perikatan (Pasal 1946 jo Pasal 1967 – Pasal 1971 KUHPerdata)

Sehubungan dengan masalah hapusnya Fidusia Undang-undang Fidusia dalam Pasal 25 sub 2 menetapkan bahwa :

Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.
Sehubungan dengan hal itu, maka kita perlu menengok ketentuan Pasal 10 huruf b Undang-undang Fidusia. Dalam pasal tersebut ditetapkan bahwa :

Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia di asuransikan.

Dengan itu mau dikatakan bahwa sekalipun perikatannya sendiri hapus namun uang santunan asuransi dianggap sebagai pengganti objek jaminan, sehingga sampai sejumlah hutang debitur menjadi hak dari kreditur demikian penjelasan atas Pasal 10 huruf b dan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Fidusia.


SIFAT PERJANJIAN JAMINAN

Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.
Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonblank. Rutten berpendapat bahwa perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri (welke zeftanding een redden van bestaan recht) dalam J. Satrio, 1996:54).
Contoh perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank.

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan) unsur-unsur kredit meliputi :
1. penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu;
2. didasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam;
3. para pihaknya yaitu bank dan pihak lain (nasabah)
4. kewajiban peminjam, yaitu untuk melunasi hutangnya
5. jangka waktu dan
6. adanya bunga

Perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.
Contoh perjanjian accesoir ini adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia jadi, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok.

BATAS BAHAN UTS HANYA GADAI DAN FIDUSIA.
___________________________________________________


HAK TANGGUNGAN

Dalam Kamus Bahasa Indonesia tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:899) dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 disebutkan pengertian hak tanggungan.

Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah :

“hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”.

Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan berikut ini :

1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah
Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada penguasaan yang secara khusus dapat diartikan kepada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cidera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sesungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite)

2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada diatasnya.

3. Untuk pelunasan hutang tertentu
Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur.

4. memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya

Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi :
“apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.”

Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.

Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah :

”Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasil seluruhnya atau sebagian-sebagian pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.”

Esensi dari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada pengauasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika debitur cedera janji.







CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN

Ciri-ciri Hak Tanggungan adalah :

1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau dikenal dengan droit de preference;
2. selalu mengikuti objek jaminan dalam tangan siap pun benda itu berada atau disebut dengan Droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain. Kreditur menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;
3. memenuhi asas spesialis dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan dana;
4. mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanan eksekusi.

Selain ciri-ciri diatas, keistimewaan kedudukan hukum kredit pemengan hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
Pasal 21 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 berbunyi :

“Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditur pemengang hak tanggungan mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu”.






ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggugan dikenal beberap asas hak tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini
1. mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan (Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996);
2. tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996);
3. hanya dibebankan pada hak atas


OBJEK HAK TANGGUNGAN

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
3. mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan
4. memerlukan penunjukan dengan undang-undang

Di dalam KUH Perdata dan ketentuan mengenai Credietverband dalam 1908-542 sebagaimana telah berubah dengan Staatslad 1937-190, telah diatur tentang objek hipotek dan credietverband. Objek hipotek dan creadietverband meliputi :
1. hak milik (eigendom)
2. hak guna bangunan (HGB)
3. hak guna usaha (HGU)

HAK TANGGUNGAN

HAK TANGGUNGAN
A. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:899). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 disebutkan pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah:
"Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yarig diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya."

Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan berikut ini.
1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah
Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite)

2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.
3. Untuk pelunasan hutang tertentu
Maksud untuk pelunasan hutarfg tertentu adalah hak tang¬gungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi: "Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dan hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kre¬ditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah". Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.

Prof.Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah:
"Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kredi¬tur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan.Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan di-gunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya".

Esensi dari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Pengu¬asaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk menguasai secara fisik namun untuk menjualnya jika debitur cedera janji.

Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah dikemukakan ciri hak tanggungan.
Ciri hak tanggungan adalah:
1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang di'kenal dengan droit de preference;
2. selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau disebut dengan Droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya me-lalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;
3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; dan
4. mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemu-dahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditur pemegang hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berbunyi:
"Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan, sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu.”

B. DASAR HUKUM HAK TANGGUNGAN
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak atas tanah adalah Bab 21 Buku II KUH Per-data, yang berkaitan -dengan hipotek dan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190.
Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. Ketidaksesuaian ini karena pada undang-undang lama yang dapat dijadikan objek hipotek dan credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, sedangkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, yang menjadi objek hak tanggungan tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah dengan hak pakai dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
Lahirnya undang-undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah dalam Pasal 51 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi "Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 diatur dalam undang-undang." Tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang hak tanggungan belum terbentuk, maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur di dalam KUH Per-data dan Credietverband. Perintah Pasal 51 UUPA baru terujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,ditetapkan pada tanggal 9 April 1996. Undang-Undang Nornor 4 Tahun 1996 terdiri atas 11 bab dan 31 pasal.
Ada 4 pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu:
1. bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pem-bangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2. bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan yang lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;
3. bahwa ketentuan mengenai Hypothec sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan me¬ngenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagai¬mana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, masih diber-lakukan sementara sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia;
4. bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan ter-jadi bidang pengaturan dan adrrfinistrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah-tangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan;
5. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, perlu di-bentuk undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah meliputi:
1. Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
2. Objek Hak Tanggungan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
3. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
4. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan, dan Hapusnya Hak Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
5. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Noinor 4 Tahun 195;
7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); dan
9. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).



Keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 meng-chiri dualisme hukum yang berlaku dalam pembebanan hak as tanah. Secara formal pembebanan hak atas tanah berlaku stentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPA, tetapi secara iateriil berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab 1 Buku II KUH Perdata dan Credietverband.
C. ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN
Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini.
1. mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
2. tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
3. hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada(Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
4. dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
5. dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996). Dengan syarat diperjanjikan secara tegas;
6. sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
7. dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
8. dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
9. mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
10. tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
11. hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
12. wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
13. pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
14. dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

Di samping itu, dalam undang-undang hak tanggungan ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tang¬gungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan'substansi undang-undang hak tanggungan.

D. SUBJEK HAK TANGGUNGAN
Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan. Pemegang . tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

Biasanya dalam praktik pemberi hak tanggungan disebut dengan debitur, yaitu yang meminjamkan uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima hak tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
E. OBJEK HAK TANGGUNGAN
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
3. mempunyai sitat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan
4. memerlukan penunjukan dengan undang-undang

Di dalam KUH Perdata dan ketentuan mengenai Crediet-verband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, telah diatur tentang objek hipotek dan credietverband. Objek hipotek dan credietverband meliputi:
1. hak milik (eigendom);
2. hak guna bangunan (HGB);
3. hak guna usaha (HGU).

Objek hipotek dan credietverband hanya meliputi hak-hak atas tanah saja tidak meliputi benda-benda yang melekat dengan tanah seperti bangunan, tanaman segala sesuatu di atas tanah. Namun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak hanya pada ketiga hak atas tanah tersebut yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi telah ditambah dan dilengkapi dengan hak-hak lainnya. Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang.


Ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu:
1. Hak milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas negara;
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

Dari kelima hak atas tanah tersebut, maka yang memerlukan penjelasan lebih lanjut adalah mengenai hak milik, HGU, HGB dan hak pakai, sedahgkan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada cukup jelas. Keempat hak atas tanah tersebut disajikan berikut ini.
1. Hak Milik
a. Pengertian Hak Milik
Istilah hak milik berasal dari bahasa Belanda, yaitu eigendom, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah ownership. Hak milik diatur di dalam Buku II KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan Buku III NBW Di dalam KUH Per¬data hak milik diatur di dalam Pasal 570 KUH Perdata sampai dengan Pasal 624 KUH Perdata. Sedangkan di dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan tidak mengganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH Perdata). Pengertian hak milik dalam Pasal 570 itu dalam arti luas. Karena benda yang dapat menjadi objek hak milik, tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Lain halnya dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, di mana di dalam rumusannya itu hanya mengenai benda tidak bergerak, khu-susnya atas tanah. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 berbunyi:
"Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA."

Pada dasarnya pemilik atas tanah dapat menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya, namun undang-undang membatasinya, dengan memperhatikan fungsi sosialnya. Artinya, apabila kepentingan umum menghendakinya, maka tanah itu dapat dibebaskan dengan memberikan ganti rugi yang layak kepada pemiliknya. Pembatasan dalam Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960 hanya pada fungsi sosial, sedangkan pada Pasal 570 KUH Perdata dibatasi penggunaannya pada tiga hal, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan undang-undang, (2) ketertiban umum, dan (3) hak-hak orang lain.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan hak milik harus memperhatikan 4 hal berikut ini, yaitu:
1) ketentuan hukum yang berlaku, seperti Undang-Undang Gangguan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Pencabutan Hak Atas tanah;
2) ketertiban umum;
3) hak-hak orang lain, seperti hak jasa pekarangan, hak guna usaha, hipotek, dan lain-lain; dan
4) fungsi sosial.
b. Subjek Hak Milik
Di dalam Pasal 21 UUPA dan Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan telah ditentukan orang-orang atau badan hukum yang dapat diberikan hak milik. Hak milik dapat diberikan kepada:
1) Warga Negara Indonesia; dan
2) Badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Badan hukum yang dapat diberikan hak milik, yaitu Bank Pemerintah, Badan Keagamaan dan Badan Sosial. Pemberian Hak Milik kepada badan hukum tersebut hanya dapat diberikan atas tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsinya.
c. Prosedur, Syarat-syarat dan Tata Cara Pemberian Hak Milik
Prosedur, syarat-syarat dan tata cara pemberian hak milik diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara tertulis. Permohonan hak milik memuat:
1) keterangan mengenai pemohon:
a. apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan serta keterangan mengenai istri/suami dan anak-anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
b. apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta dan peraturan pendiriannya tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwe-nang; tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan keten-tuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
2) keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik. Data yuridis merupakan data yang berkaitan dengan aspek hukum, sedangkan data fisik merupakan yang berkaitan dengan fisik tanah yang akan dimohon, seperti gambar situasi. Yang termasuk data yuridis dan fisik meliputi hal berikut ini.
a. dasar penguasaan atau alas haknya dapat merupakan sertifikat, girik, surat kapling surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan haknya dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasi sebutkan tanggal dan nomomya);
c. jenis tanah (pertanian/nonpertanian);
d. rencana penggunaan tanah; dan
e. status tanahnya (tanah hak atau tanah negara)
3) lain-lain, meliputi:
a. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimihki pemohon;
b. keterangan lain yang dianggap perlu (Pasal 9 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasi-onal Nomor 9 Tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan).
Permohonan hak milik tersebut harus dilampirkan dengan:
1) Mengenai pemohon:
a) jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Foto identitas sifatnya alternatif artinya apabila pemohon WNI asli, maka cukup dilampirkan foto copy KTP atau SIM, atau Kartu Pegawai. Apabila WNA yang telah menjadi WNI, maka yang bersangkutan harus melampirkan bukti kewarganegaraan RI;
b) jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Mengenai tanahnya:
a. Data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah; akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
b. Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan 1MB apabila ada;
c. Surat lain yang dianggap perlu.

3) Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon.
Tata cara pemberian hak milik diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Tata cara pemberian hak milik tersebut disajikan berikut ini :
1) Permohonan hak milik diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjaannya meliputi letak tanahnya yang bersangkutan;
2) Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:
a. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fislk;
b. mencatat dalam formulir isian sesuai dengan contoh lampiran 4;
c. memberikan tanda terima bekas permohonan sesuai dengan formulir isian contoh lampiran 5;
d. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permo¬honan tersebut dengan rincian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh lampiran 6.
3) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan hak milik atas tanah dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
4) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran Pendaftaran Tanah untuk melakukan pengukuran.
5) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:
a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam risalah (catatan) pemeriksaan tanah (konstatering rapport), sesuai contoh lampiran 7.
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh lampiran 8.
c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permo¬honan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan ke dalam risalah pemeriksaan tanah sesuai contoh lampiran 9.
6) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
Apabila semua persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh pemohon, maka pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pemberian hak milik. Untuk tanah yang luasnya maksimum 2 ha, maka yang berwenang menerbitkan keputusan tersebut adalah Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/ Kota. Dalam pengambilan putusan tersebut setelah mempertim-bangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksaan Tanah A, Kepala Kantor Pertanahan yang menerbitkan keputusan pemberian hak milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.

Dalam hal keputusan pemberian hak milik tidak dilim-pahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Per¬tanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangan, sesuai contoh lampiran 10. Setelah menerima berkas permohonan yang telah disertai pendapat dan pertim¬bangan, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
1) mencatat dalam formulir isian sesuai dengan contoh lampiran 11;
2) memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.

Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal keputusan pemberian hak milik telah dilimpahkan kepada Kantor Wilayah, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian.

Dalam hal keputusan pemberian hak milik tidak dilim¬pahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan kepada menteri disertai pendapat dan pertimbangannya sesuai dengan lampiran 12. Setelah menerima berkas tersebut, menteri melakukan hal-hal berikut ini:
1) Menteri memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk:
a) mencatat dalam formulir isian sesuai dengan contoh lampiran 13;
b) memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk me¬lengkapinya.
2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon dengan memper-hatikan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah, menteri menerbitkan keputusan pemberian hak milik atau tanah yang dimohon atau kepu¬tusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya;
Keputusan pemberian hak milik atau tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan peno¬lakannya disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan ter¬sebut kepada yang berhak.

d. Terjadinya Hak Milik
Terjadinya Hak Milik diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Ada 3 (tiga) cara terjadinya hak milik, yaitu:
1) menurut hukum adat;
2) penetapan pemerintah; dan
3) ditentukan oleh undang-undang

Terjadinya hak milik menurut hukum adat, yaitu lazimnya bersumber pada pembukaan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Pembukaan tanah hutan secara tidak teratur bisa membawa akibat yang sungguh merugikan kepentingan umum dan negara, berupa kerusakan tanah, longsor, banjir, dan sebagainya. Menyerahkan pengaturan pembukaan tanah kepada para kepala adat bisa mengakibatkan pemborosan (Boedi Harsono, 1971: 79). Soejono dan Abdurrahman mengatakan, bahwa terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat adalah melalui pembukaan tanah sebagaimana telah dikenal secara tradisional dalam hukum adat masyarakat Indo¬nesia (Soejono dan Abdurrahman, 2003: 16).
Terjadinya hak milik berdasarkan Penetapan Pemerintah adalah pemberian hak atas tanah, khususnya hak milik yang didasarkan atas keputusan pemberian hak kepada subjek hak, yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan pemberian hak. Contohnya pemberian hak milik atas tanah negara kepada para transmigran, pelaksanaan landreform dan para bekas gogol tidak tetap, sepanjang tanah itu merupakan bekas gogolan tidak tetap. Hak milik karena ditentukan oleh undang-undang adalah bahwa adanya tanah tersebut karena telah ditentukan dan diatur dalam undang-undang itu sendiri. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria dijumpai beberapa ketentuan yang menetapkan terjadinya hak milik atas tanah karena undang-undang, yaitu yang termuat dalam diktum kedua ketentuan-ketentuan kon-versi.
Berdasarkan ketentuan konversi ini, ada beberapa hak yang setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dikonversi menjadi hak milik, yaitu:
1) Hak eigendom atas tanah yang ada, setelah berlakunya UUPA sejak 24 September 1960 dikonversi menjadi hak milik, bilamana memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
2) Hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni, hak atas duwe desa, pesini, grand sultan, landerijen bezitrecht, altijddurende erpacht, hak usaha atas tanah partikelir, sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, se¬panjang pemegang haknya memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
3) Hak gogolan, pekulen, atau sanggan yang bersifat tetap mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi milik (Soejono dan Abdurrahman, 2003:19).

Terjadinya hak milik atas tanah karena ditentukan undang-undang dalam kenyataannya tidak menghadapi banyak persoalan yuridis, karena tanah itu demi hukum menjadi hak milik seperti eigendom, maka tanah tersebut menjadi hak milik.
e. Pembebanan dan Peralihan Hak Milik
Hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pada dasarnya hak milik dapat beralih dan dialihkan. Peralihan hak milik dapat dilakukan dengan cara jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pem-berian menurut adat dan perbuatan lainnya.
Jual belt merupakan perjanjian yang terjadi antara penjual dan pembeli, di mana yang menjadi objek jual beli adalah tanah hak milik. Jual beli tanah hak milik dilakukan di muka dan di hadapan PPAT. Kewajiban penjual adalah menyerahkan tanah yang dijualnya dan haknya menerima uang dari pembeli. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar harga tanah yang dibelinya, dan haknya menerima tanah tersebut, baik secara yuridis maupun secara de facto. Tukar-menukar merupakan perjanjian yang terjadi antara pihak pertama dengan pihak kedua, di mana pihak pertama menukarkan tanah hak miliknya dengan tanah pihak kedua. Pemberian dengan wasiat adalah pemberian hak atas tanah dari pemberi wasiat kepada penerima wasiat, di mana tanah itu baru akan diterima oleh penerima wasiat setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Jadi momentum yang bersangkutan menerima tanah tersebut adalah pada saat pemberi wasiat meninggal dunia. Pemberian menurut adat adalah suatu pemberian hak atas tanah, di mana pemberian hak atas tanah tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam hukum adat, seperti harus kontan (tunai). Tanah yang diberikan tersebut dapat digolongkan menjadi 2, yaitu tanah ulayat dan tanah yang dimiliki oleh perorangan.
f. Hapusnya Hak Milik
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA. Ada 2 cara hapusnya hak milik, yaitu: tanahnya jatuh kepada negara dan tanah musnah. Penyebab tanahnya jatuh kepada negara adalah karena:
1) pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
2) penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3) diterlantarkan;
4) ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).
Dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA ditentukan bahwa orang asing dan Warga Negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya yang sesudah berlakunya UUPA memperoleh hak milik, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanah¬nya jatuh pada negara, dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Yang dimaksud dengan tanahnya musnah adalah tanah yang dimiliki oleh pemilik ter¬sebut mengalami kehancuran, lenyap atau binasa. Hancurnya tanah tersebut bisa disebabkan adanya gempa bumi, banjir, dan lain-lain.

2. Hak Guna Usaha (HGU)
a. Istilah dan Pengertian Hak Guna Usaha (HGU)
Istilah hak guna usaha merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu erfpacht. Hak guna usaha diatur dalam Pasal 720 sampai dengan Pasal 736 KUH Perdata; Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 UU Nomor 5 Tahun 1960; Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah. Pengertian hak guna usaha dapat kita baca dalam Pasal 720 KUH Perdata dan Pasal 18 UU Nomor 5 Tahun 1960. Pasal 720 KUH Perdata berbunyi:
"Hak guna usaha adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban untuk membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan."

Dalam Pasal 18 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan pengertian hak guna usaha. Hak guna usaha adalah:
"Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan."

Apabila kita bandingkan kedua definisi ini, maka kita dapat mengemukakan perbedaan dan persamaan dari kedua definisi tersebut. Perbedaan kedua definisi ini disajikan berikut ini.
1) Status tanahnya
Pasal 720 KUH Perdata bahwa barang tak bergerak yang diusahakan merupakan milik orang lain, sedangkan dalam Pasal 18 UUPA tanah yang diusahakan merupakan tanah yang dikuasai oleh negara.
2) Dari aspek penggunaan tanah
Penggunaan tanah dalam Pasal 720 KUH Perdata untuk kepentingan semua bidang pembangunan, sedangkan dalam Pasal 18 UUPA, penggunaan tanah untuk pertanian, perikanan atau peternakan.

Persamaan bahwa objek HGU menurut KUH Perdata dan UUPA adalah benda tidak bergerak.
b. Subjek Hak Guna Usaha
Subjek hak guna usaha diatur dalam Pasal 30 UUPA, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Dalam kedua ketentuan itu ditentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna usaha adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Secara individual orang asing tidak dapat menggunakan hak guna usaha, namun secara kelembagaan seperti berbentuk badan hukum, maka orang asing yang termasuk dalam badan hukum itu dapat mempunyai hak guna usaha.
c. Tanah yang dapat Diberikan dengan Hak Guna Usaha
Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha diatur dalam Pasal 28 UUPA dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha hanyalah tanah negara. Sebelum tanah negara itu diberikan kepada subjek hak guna usaha, maka harus diperhatikan hal-hal berikut ini.
1) Dalam hal tanah negara yang akan diberikan merupakan tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pem-berian hak guna usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.
2) Pemberian hak guna usaha atas tanah yang dikuasai dengan hak tertentu sesuai dengan ketentuan yang beriaku, pelaksanaan hak guna usaha tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang beriaku.
3) Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keber-adaannya berdasarkan atas hak yang sah, pemilik bangunan atau tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan kepada pemegang hak guna usaha.

Luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah 5 hektar. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah 25 hektar, sedangkan untuk badan hukum ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan (Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah).

d. Momentum Terjadinya Hak Guna Usaha
Setiap orang atau badan hukum yang ingin memperoleh hak guna usaha harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hak guna usaha diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian hak itu wajib didaftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan. Sedangkan momen¬tum terjadinya hak guna usaha adalah sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai dengan ketentuan per-aturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang hak guna usaha diberikan sertifikat hak atas tanah (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah).
e. Jangka Waktu Berlakunya Hak Guna Usaha
Jangka waktu berlakunya hak guna usaha diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Jadi total jangka waktu hak guna usaha selama 60 tahun. Perpanjangan hak ini dapat dilakukan sepanjang pemegang hak guna usaha memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu hak tanpa mengubah syarat-syarat dalam pemberian hak tersebut.
Syarat-syarat itu meliputi:
1) tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
2) syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
3) pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Di samping dapat diperpanjang jangka waktu hak guna usaha, maka kepada pemegang hak diberikan kesempatan untuk memperbarui permohonan hak guna usahanya. Maksud pembaruan hak adalah pemberian hak yang sama kepada pemegang hak atas tanah yang telah dimilikinya dengan hak guna usaha sesudah jangka waktu hak tersebut atau perpanjangannya habis.

Syarat-syarat untuk dilakukan pembaruan hak guna usaha adalah:
1) tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pmberian hak tersebut;
2) syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
3) pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak (Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).

Permohonan perpanjangan jangka waktu hak guna usaha atau pembaruannya diajukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak guna usaha. Perpan¬jangan dan pembaruan dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan (Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan per-panjangan atau pembaruan hak guna usaha ini dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan hak guna usaha. Apabila hal itu telah dilakukan oleh pemegang hak guna usaha, maka untuk perpanjangan atau pembaruan hak guna usaha hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Persetujuan untuk dapat memberikan perpan¬jangan atau pembaruan hak guna usaha dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian hak guna usaha yang bersangkutan (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).

f. Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha
Kewajiban dan hak pemegang hak guna usaha diatur dalam Pasal 12 sampai Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Kewajiban pemegang hak guna usaha, yaitu:
1) membayar uang pemasukan kepada negara;
2) melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/ atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
3) mengusahakan sendiri hak guna usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
4) membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal hak guna usaha;
5) memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam, dan^menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6) menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunan hak guna usaha;
7) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna usaha kepada negara sesudah hak guna usaha tersebut hapus;
8) menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;
9) jika tanah hak guna usaha karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau sebi-dang tanah lain dari lalu lintas umum ataujalan air, pemegang hak guna usaha wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung.

Hak dari pemegang hak guna usaha diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
Hak pemegang hak guna usaha, yaitu: berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak guna usaha untuk melaksa-nakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan petemakan. Penguasaan dan penggunaan sumber daya air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan hak guna usaha hanya dapat dilakukan untuk dapat mendukung usaha di atas, dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat. Sedangkan larangan bagi pemegang hak guna usaha adalah dilarang menyerahkan pengusahaan tanah hak guna usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal yang diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan.

g. Pembebanan dan Peralihan Hak Guna Usaha
Sertifikat hak guna usaha yang telah diterbitkan oleh menteri atau pejabat yang berwenang dapat dijadikan jaminan hutang pada lembaga perbankan dengan dibebani hak tanggungan. Hak tanggungan hapus dengan hapusnya hak guna usaha (Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).
Secara yuridis hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain (Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Beralih atau dialihkan artinya, bahwa hak guna usaha itu dapat berpindah, berganti atau dipindahkan kepada pihak lainnya. Peralihan hak guna usaha terjadi dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Peralihan ini harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Peralihan hak guna usaha dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Peralihan hak guna usaha karena warisan harus dapat dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang. Sedangkan jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang, yang dibuat oleh pejabat lelang.
h. Hapusnya Hak Guna Usaha
Hapusnya hak guna usaha adalah tidak berlakunya keputusan pemberian hak guna usaha yang diperoleh pemegang hak guna usaha. Dalam Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 telah ditentukan 7 cara ha-pusnya hak guna usaha. Ketujuh cara hapusnya HGU tersebut, meliputi:
1) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
2) dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena:
a) tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan, sebagai¬mana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996;
b) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di atasnya;
5) diterlantarkan;
6) tanahnya musnah;
7) tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak guna usaha.

Konsekuensi dari hapusnya hak guna usaha, mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Apabila hak guna usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbarui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya kepada negara dalam batas waktu yang ditetap¬kan oleh menteri. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya pemegang hak guna usaha. Jika bekas pemegang hak tersebut lalaa. dalam memenuhi kewajiban-nya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah tersebut dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang hak. Namun, apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda yang ada di atasnya diperlukan oleh pemerintah untuk melangsungkan Mau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada pemegang hak diberikan ganti mgi yang bentuk dan jumlahnya diatur kbih lanjut dengan Keputusan Presiden (Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
a. Pengertian Hak Guna Bangunan (HGB)
Istilah hak guna bangunan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu opstal. Hak guna bangunan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA dan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Pengertian hak guna bangunan diatur dalam Pasal 19 UUPA. Hak Guna Bangunan merupakan
"Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun."

Berdasarkan pengertian ini, maka dapat ditarik unsur-unsur atau elemen-elemen yang terkandung dalam hak guna bangunan, yaitu:
1) adanya hak;
2) untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan;
3) atas tanah yang bukan miliknya; dan
4) jangka waktunya 30 tahun.
b. Subjek Hak Guna Bangunan
Subjek hak guna bangunan diatur dalam Pasal 36 UUPA
dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Dalam kedua ketentuan itu ditentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Badan hukum itu dapat ber-bentuk koperasi, yayasan, dan Perseroan Terbatas.
c. Tanah yang Dapat Diberikan dengan Hak Guna Bangunan
Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan diatur dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Dalam ketentuan itu disebutkan, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah:
1) Tanah Negara;
2) Tanah Hak Pengelolaan;
3) Tanah Hak Milik.

Tanah Negara merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh negara. Tanah hak pengelolaan merupakan tanah yang dikuasai oleh negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. Sedangkan tanah hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpe-nuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA (Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960).
d. Momentum Terjadinya Hak Guna Bangunan
Setiap orang atau badaa hukum yang ingin memperoleh hak guna bangunan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dipaparkan bahwa objek HGB dibagi menjadi 3 (tiga) macam tanah, yaitu tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Tentunya dari ketiga macam hak itu berbeda dalam ke-putusan pemberian hak. Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah diatur tentang keputusan pemberian hak tersebut.
1) Hak guna bangunan atas tanah negara diberikan dengan Keputusan Pemberian Hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2) Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan Keputusan Pemberian Hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan;
3) Hak guna bangunan atas tanah hak milik terjadi dengan pem¬berian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.

Pemberian HGB atas tanah negara dan tanah hak penge¬lolaan didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan dan terjadinya HGB tersebut sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan. Begitu juga pemberian HGB atas hak milik wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan dan HGB atas hak milik tersebut mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan.
e. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan
Jangka waktu berlakunya hak guna bangunan diatur dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. HGB diberikan untuk jangka waktu pa¬ling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Jadi total jangka waktu hak guna bangunan selama 55 tahun. Perpanjangan dan pembaruan hak ini dapat dilakukan sepanjang pemegang hak guna bangunan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Perpanjangan atau pemba¬ruan hak haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
2) syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3) pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; dan
4) tanah tersebut masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan.

Permohonan perpanjangan atau pembaruan atas tanah hak pengelolaan dilakukan oleh pemegang HGB setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Permohonan itu dilakukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGB tersebut. Perpanjangan dan pembaruan ini dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaruan hak guna bangunan ini dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan HGB. Apabila hal itu telah dilakukan oleh pemegang HGB, maka untuk perpanjangan atau pembaruan HGB hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Persetujuan untuk dapat memberikan perpanjangan atau pembaruan HGB dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian hak guna bangunan yang bersangkutan (Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).
______________ MATERI KULIAH TGL 16 NOV
f. Kewajiban dan Hak Pemegang HGB
Kewajiban dan hak pemegang hak guna bangunan diatur dalam Pasal 30 sampai Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Kewajiban pemegang HGB, yaitu:
1) membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pemba-yarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
2) menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan perjanjian pemberiannya;
3) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
4) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah HGB hapus;
5) menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;
6) jika tanah hak guna bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau sebidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang HGB wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung.

Hak dari pemegang hak guna bangunan diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Hak pemegang HGB, yaitu:
1) berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan HGB selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya; serta
2) untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain; dan
3) membebaninya.
g. Pembebanan dan Peralihan HGB
Sertifikat HGB yang telah diterbitkan oleh menteri atau pejabat yang berwenang dapat dijadikan jaminan hutang pada lembaga perbankan dengan dibebani hak tanggungan. Hak tanggungan hapus dengan hapusnya HGB (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).

Secara yuridis HGB dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain (Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Beralih atau dialihkan aninya bahwa hak guna bangunan itu dapat berpindah, berganti atau dipindahkan ke¬pada pihak lainnya. Peralihan hak guna bangunan terjadi dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Peralihan ini harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Peralihan hak guna bangunan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Peralihan hak guna bangunan karena warisan harus dapat dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang. Sedangkan jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang, yang dibuat oleh pejabat lelang. Peralihan HGB atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan, sedangkan peralihan HGB atas tanah hak milik harus dengan persetujuan dari pemegang hak milik yang bersangkutan.
h. Hapusnya Hak Guna Bangunan
Hapusnya hak guna bangunan adalah tidak berlakunya keputusan pemberian hak guna bangunan yang diperoleh pemegang hak guna bangunan. Dalam Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 telah ditentu-kan 7 cara hapusnya hak guna bangunan. Ketujuh cara hapusnya hak guna bangunan tersebut, meliputi:
1) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
2) dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena:
a. tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggamya ketentuan-ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan/atau Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996; atau
b. tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewa¬jiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan atau pemegang hak dan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan; atau
c. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya;
5) diterlantarkan;
6) tanahnya musnah;
7) tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak guna bangunan.

Konsekuensi yuridis dari hapusnya hak guna bangunan akan diatur sebagai berikut.
1) Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara
Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara, mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Apabila hak guna bangunan hapus dan tidak diperpanjang atau diperbarui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak hapusnya hak guna bangunan. Namun, apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda yang ada di atasnya diperlukan oleh pemerintah, maka kepada pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Sedangkan pembongkaran bangunan dan benda-bendanya dilaksanakan atas biaya pemegang hak guna bangunan;
2) Hapusnya hak guna "bangunan atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang hak pengelolaan; dan
3) Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik.

4. Hak Pakai (HP)
a. Pengertian Hak Pakai
Hak Pakai diatur di dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA dan Pasal 39 sampai dengan Pasal 58 Peraturan Pemerin-tah Nomor 40 Tahun 1996. Pengertian hak pakai diatur dalam Pasal 41 UUPA. Hak pakai merupakan:
"Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak berten-tangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini."

Definisi ini sangat luas, karena tidak hanya dirumuskan tentang pengertian hak pakai, tetapi juga tentang wewenang dan kewajibannya. Dengan demikian, elemen-elemen yang terkandung dalam pengertian hak pakai adalah:
1) Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil.
2) Objeknya tanah yang dikuasai oleh negara atau hak milik.
3) Yang memberikan kewenangan pada penggunaan hak pa¬kai adalah pejabat yang berwenang untuk itu atau pemilik tanah dan
4) Syaratnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil merupakan hak untuk memanfaatkan dan atau memetik hasil dari hak pakai atas tanah.
b. Subjek Hak Pakai
Subjek hak pakai diatur dalam Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Di dalam Pasal 42 UUPA hanya disebutkan 4 golongan subjek hukum yang dapat diberikan hak pakai, yaitu:
1) Warga Negara Indonesia.
2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3) Badan hukum yang didirikan menumt Indonesia dan berke¬dudukan di Indonesia dan
4) Badan hukum asing, yang mempunyai perwakilan di Indo¬nesia.

Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah ditentukan 7 golongan subjek hukum yang diberikan hak pakai, yaitu:
1) Warga Negara Indonesia.
2) Badan hukum yang didirikan menurut Indonesia dan berke¬dudukan di Indonesia.
3) Departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, dan pemerintah daerah.
4) Badan-badan keagamaan dan sosial.
5) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
6) Badan hukum asing, yang mempunyai perwakilan di Indo¬nesia.
7) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Subjek hukum ini dapat diklasifikasi menjadi 4 golongan, yaitu:
1) Orang, termasuk orang adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing.
2) Badan hukum privat, seperti badan hukum, baik badan hukum domestik dan badan hukum asing.
3) Badan hukum publik, seperti departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, dan pemerintah daerah, perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional dan
4) Badan-badan keagamaan dan sosial.

Pemegang hak pakai yang memenuhi syarat di atas, dalam waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, maka hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan (Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).